Home » » Membiasakan Berbagi Sejak Dini

Membiasakan Berbagi Sejak Dini

“Ummi, aku punya rahasia! Kejutan!” seru si bontot yang baru dua bulan lagi akan genap berusia 4 tahun. Saya yang sore itu baru melangkah menuju pintu rumah jadi terhenti. Ia berlari ke dapur, membawa sesuatu dari kulkas dan kembali menemui saya.

“Ini dia!” ujarnya dengan nada riang sambil menunjukkan sepotong kue tart kesukaannya.

“Ummi, teman Keyvan ulang tahun di sekolah. Kuenya tidak dimakan sama Keyvan, tapi dibawa pulang. Katanya ingin dimakan sama-sama!” kakak perempuannya, Tadzkira, menjelaskan.

“Waah subhanallah, Keyvan mau berbagi dengan Ummi dan kakak-kakak ya,” seru saya takjub. Terbayang si kecil yang sangat gemar kue tart coklat, seharian menahan keinginan untuk menyantapnya lantaran ingin menikmatinya bersama-sama. Kalau ia mau, bisa saja ia memakannya di sekolah dengan teman-temannya.

Saat mau mengambil pisau di dapur, saya berkata pada dua anak saya yang besar, “Hebat Keyvan. Untuk ukuran anak seumurnya, itu prestasi lho! Jarang anak kecil yang bisa menahan keinginan hanya karena ingin berbagi. Apalagi itu kue kesukaannya,” ujar saya sambil mengingat teori perkembangan anak. Usia di bawah 4 tahun itu dikenal masanya ego-sentries, dunia dan seisinya serba milik dia, karena itu akan sulit bagi anak seusia itu untuk berbagi.

“Ada penelitiannya bahwa anak kecil yang bisa menunda keinginan, ternyata menjadi anak-anak yang sukses di kemudian hari,” tambah saya.

“Oya Ummi aku tahu ada penelitian anak-anak TK yang diberi peremen, terus anak-anak itu diberi tahu kalau yang tidak memakannya selama beberapa menit akan diberi tambahan permen. Ternyata anak-anak yang bisa menahan memakannya beberapa waktu, mereka jadi orang-orang hebat,” ujar si sulung. Mendengar penjelasan anak saya yang baru kelas 6 SD yang paham tentang Teori Marshmallow Stanford University, tentu saja saya kaget. Saya sendiri baru tahu tentang penelitian itu saat saya sudah lulus kuliah dan bekerja.

“Aa tahu dari mana?” selidik saya.

“Aku pernah baca, Mi. Tapi lupa di buku yang mana,” ujarnya.

Alhamdulillah, hati saya diliuputi rasa syukur saat itu. Pertama, karena si kecil sudah mampu menahan keinginannya untuk berbagi. Kedua, si sulung yang telah membaca konsep atau buku yang mungkin umumnya dikonsumsi para mahasiswa.

Kembali ke Marshmallow Test, ada alasan mengapa saya sangat mensyukuri kemampuan si kecil untuk menunda keinginan atau dalam bahasa ilmiahnya delay gratification. Pertama karena dalam percobaan yang dilakukan tahun 1960 itu si anak hanya diminta menunda 20 menit. Kedua, sebelumnya anak diiming-imingi tambahan permen marshmallow kalau bisa menunda selama 20 menit itu.

Dalam kasus si kecil, dia menunggu hingga berjam-jam dan tidak ada iming-iming hadiah apa-apa dari siapapun. Niatnya untuk menunda memakan kue tart kesukaannya karena ia ingin berbagi dan memakannya bersama-sama. Menurut saya ini suatu hal patut disyukuri. Bukan karena ada harapan kelak ia akan menjadi orang sukses dengan kemampuannya mengelola emosi. Namun bahwa si kecil bisa merasakan bahagia dengan berbagi.

Saya lalu merenung, apa yang mendorong si kecil melakukan hal tersebut? Saya jadi ingat, jika ada acara yang menyediakan snack, seringkali saya membawanya ke rumah untuk dimakan bersama. Hal tersebut diikuti dua anak yang besar. Kalau ada temannya membagikan kue ulang tahun di sekolah, mereka selalu memilih memakannya di rumah bersama. Demikian juga jika ada pelajaran ‘cooking’ anak-anak selalu membawanya ke rumah supaya seisi rumah mencicipinya, walau hanya sepotong kue bawang. Sedangkan sebagian temannya memakannya habis di sekolah.

Begitu pula jika di rumah banyak makanan, maka saya dan suami sering minta anak-anak untuk membagikannya pada tetangga. Maka kedua anak saya yang besar akan sangat sibuk bolak-balik ke rumah tetangga satu persatu. Meski itu malam hari, mereka seringkali dengan senang hati melakukannya.

Kadang mereka dengan antusias menceritakan, bagaimana makanan yang diberikan pada tetangga tersebut langsung diserbu anak-anaknya yang kecil-kecil. Saya sangat bersyukur saat melihat bahwa anak-anak ternyata mampu merasakan kebahagiaan dan kenikmatan bukan saat mereka memiliki atau mengkonsumsi makanannya, namun justru saat membagikannya dan ketika melihat orang lain menikmatinya.

Berbagi atau bersedekah adalah hal yang sangat mulia dan dianjurkan dalam agama. Oleh karena itu perlu pembiasaan sejak mereka kecil, karena sebaik-baik pendidikan karakter adalah dimulai saat usia keemasan mereka atau sering dikenal dengan istilah golden age. (Ida S. Widayanti – Penulis Buku Parenting Islam)

0 komentar:

Posting Komentar

Konsultasi Online

Alamat :
Jl. Raya Mulyosari 398 Surabaya Telp. 0315928866
Fax. 0315915516

Email updates

http://picasion.com/i/1Vtt8/

Rekening

ZAKAT: BCA 3890409767, BNI 0072912763, BSM 7001191831, MANDIRI 1410008006009
INFAQ: BMI 7010053515, BNI 0600800404, BRI 058701000014308, BSM 7034584715
WAKAF: BNI 0800600407, MANDIRI 1410004642831, PERMATA SYARIAH 2901451055
A.n Yayasan Baitul Maal Hidayatullah
Call : 0315928866 / 70380001
SMS Konfirmasi Transfer : 0856 550 10005
 
Support : Desain blog
Copyright © 2013. Info Wakaf Tunai Terlengkap - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger