Tahukah Anda, apa harapan terbesar kebanyakan orang tua yang anaknya
duduk di bangku TK? Ya, cepat pintar, cepat bisa baca tulis. Itulah tuntutan
sebagian besar wali murid. Mereka akan kecewa jika anak-anak ini terlalu banyak
diajarkan menyanyi di TK Besar, karena merasa buah hatinya sudah bukan anak
kecil lagi. Yang dituntut justru diberikan latihan dan pekerjaan rumah (PR)
sebanyak-banyaknya agar anak-anak ini cepat mahir berhitung dan baca tulis.
Menyanyi, bermain balok, puzzle, petak umpet, dan sejenisnya,
dianggap bukan hal yang penting untuk diajarkan. Begitu pula dengan mencocok
gambar, bermain plastisin dan mewarnai. Semua itu dianggap hanya permainan,
bukan pelajaran. Sehingga masih saja ada orang tua yang merasa rugi
menyekolahkan anaknya di Taman Kanak-kanak karena hanya diajarkan bermain-main
saja. Akibatnya, mereka langsung menyekolahkan anak ke SD. Atau setidaknya
cukup setahun di TK.
Pendapat seperti ini sama sekali salah. Benar memang bahwa semua
yang disebut di atas adalah permainan, tetapi justru dengan cara itulah
semestinya anak usia TK belajar. Karena dunia mereka adalah dunia bermain. Maka
semestinya mereka mempelajari baca tulis dan berhitung dengan menggunakan
metode permainan. Apalagi di dalam permainan-permainan itulah ternyata
terkandung proses utama pembentukan kecerdasan emosi anak. Dan justru di masa
TK inilah anak memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan perkembangan kecerdasanemosinya.
Mengembangkan Kecerdasan Emosi
Melalui kegiatan menyanyi, kepekaan rasa anak disentuh dan
dirangsang. Cinta kasih kepada ayah bunda, keinginan berbakti dan membalas jasa
keduanya, misalnya, bisa ditumbuhkan melalui lagu. Kepekaan terhadap
lingkungan, disentuh melalui lagu-lagu yang mensyukuri keindahan alam dan
kelebihan-kelebihannya. Perasaan kasih sayang anak, baik kepada sesama maupun
kepada binatang, pun bisa ditumbuhkan melalui kelembutan dan keceriaan
lagu-lagu dengan tema tersebut. Sementara lagu-lagu perjuangan akan
menyulut kemarahan anak kepada musuh
yang telah mencabik-cabik negara dan harga dirinya. Selain itu, kegiatan
menyanyi dengan cara berdiri di depan teman-teman sambil bergaya mengikuti
irama, sangat bermanfaat untuk
meningkatkan keberanian dan kepercayaan diri anak.
Permahnan membangun balok menjadi bangunan yang tinggi, selain
melatih konsentrasi, bisa bermanfaat untuk mengontrol ambisi anak. Setiap anak
pasti berambisi membangun menara setinggi-tingginya, namun ia akan belajar
berhenti berambisi pada tahap tingkat ketinggian tertentu karena keseimbangan
sudah tidak memungkinkan lagi. Di sini pun ada pula pelajaran berlatih kesabaran
saat membangun sambil mempertahankan keseimbangan, serta membangun keuletan
dengan menumpuknya satu demi satu, sedikit demi sedikit. Juga kreatifitas dan
imajinasi, yang akan membawa anak ke dunia kepuasannya sendiri.
Melalui berbagai permainan kelompok, seperti petak umpet, petak
jongkok, dan main kelereng, anak belajar mematuhi peraturan. Mereka pun belajar
menguasai emosinya baik ketika menjadi pemenang maupun ketika harus menerima
kekalahan.
Dengan aktifitas
menggambar, anak memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya. Hal
ini penting, untuk menyalurkan kesedihannya ketika sedang menghadapi kesedihan,
sehingga berkurang beban kesedihan itu. Atau menyalurkan kemarahan, ketika satu
saat mendapat hukuman di sekolah. Penyaluran seperti ini, bermanfaat mengurangi
beban emosi yang terasa sesak menggumpal di dada.
Sementara kegiatan mewarnai, di dalamnya terkandung pembelajaran
kepekaan terhadap rasa seni, harmoni rangkaian warna, yang akan memperlembut
perasaan mereka.
TK, Bengkel Kecerdasan Emosi
Sebagian besar pembentukan sisi-sisi
kecerdasan emosi anak, justru terbentuk di masa-masa TK. Terutama karena di
usia empat hingga enam tahun itulah, saatnya mereka belajar berkomunikasi dan
bergaul dengan teman dan lingkungan. Ada begitu banyak peristiwa, intrik, dan
momen yang terjadi selama dua tahun di TK tersebut. Bagaimana mereka berusaha
bertahan menghadapi semua masalah itulah yang mengasah kecerdasan emosinya.
Bisa jadi seorang anak dianggap bagaikan seorang raja, di mana
seluruh anggota keluarga baik ayah, bunda, nenek, hingga kakak, senantiasa
mengabulkan permintaan anak. Hingga pembantu rumah tangga pun, siap melayani
apa saja permintaan anak, hanya dengan satu kali perintah dan panggilan saja.
Sebaliknya di sekolah ia harus belajar berbagi dengan teman, karena
mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai murid. Ia harus
belajar mengalah saat berebut tempat duduk. Atau belajar antri ketika harus
mencuci tangan. Juga belajar menahan sabar dan menunda keinginan, karena harus
bergantian. Mereka juga belajar menghargai karya temannya, belajar bekerjasama
membuat tugas dari ibu guru.
Dalam permainan kelompok, anak belajar mematuhi peraturan, juga
belajar mengambil sikap ketika ada teman yang berbuat curang. Mereka juga
belajar berbicara dengan simpatik untuk menarik perhatian temannya. Dan belajar
menghargai teman agar dirinya pun dihargai oleh teman-temannya.
Dunia kehidupan anak di TK, benar-benar sarat dengan proses
pengembangan EQ tersebut. Melatih keberanian, percaya diri, dan kemandirian.
Juga belajar menahan marah, menunda keinginan, antri, mengutamakan orang lain,
hingga belajar mengalah. Semua terjadi, hampir setiap hari. Maka, bantuan dan
bimbingan dari guru dan orangtua pun ia butuhkan sewaktu-waktu. Inilah
saat-saat mereka menentukan ke mana arah dan seperti apakah kualitas kecerdasanemosinya.
Menginjak usia Sekolah Dasar, proses pembentukan kecerdasan emosi
masih terus berlangsung. Konflik dengan teman terjadi semakin kompleks.
Perebutan ‘kekuasaan’ atas berbagai fasilitas sekolah, persaingan kompetisi
mempertahankan prestasi pun kian tinggi. Melalui proses-proses tersebutlah,
kecerdasan emosi anak dipertahanan dan dikembangkan.
Rumahku, Pusat Kecerdasan Emosiku
Selain di sekolah, di rumah pun senantiasa
terjadi peristiwa yang merupakan proses pembentukan kecerdasan emosi ketika
anak harus belajar berbagi dengan adik barunya. Berbagi perhatian orangtua,
berbagi kasih sayang dari nenek, juga berbagi pujian dari saudara-saudra lain.
Perselisihan
antarsaudara, hampir setiap hari bisa terjadi. Masing-masing anak terlahir
dengan mengusung egosentrisme, sehingga setiap anak memiliki naluri unuk selalu
menjadi yang nomor satu. Kenyataannya, hanya satu yang bisa menjadi nomor satu.
Sementara yang lain harus belajar menerima kekalahan, belajar membuang keputusasaan, dan bangkit dari kegagalan.
Detik demi detik dalam kehidupan anak di rumahnya, semua sarat
dengan bahan pembelajaran. Mulai dari pelajaran kemandirian, ketika anak-anak
belajar membereskan sendiri mainannya usai bermain, mengenakan pakaian sendiri,
mandi sendiri, dan membuat minumnya sendiri. Pelajaran tanggung jawab, saat
anak mengerjakan tugas-tugas ringan membantu ibu yang dibebankan kepadanya dan
saat mereka mempersiapkan sendiri pelajaran yang harus dibawa sekolah esok
hari. Juga tanggungjawab saat menumpahkan minumannya, menjatuhkan piring,
hingga menghilangkan buku milik teman yang dipinjamnya.
Sementara itu, teladan ayah-ibu di rumah, menjadi pelajaran paling
berharga bagi anak. Dari merekalah, kecerdasan emosi anak memperoleh
panduannya. Mustahil, memperoleh anak berkepribadian kuat jika ayah-ibunya tak
memiliki kecakapan kecerdasan emosi kuat pula. Justru pada merekalah terletak
semua kuncinya. Jika menginginkan putra-putri anda memiliki kecerdasan emosi
tinggi, ayah-ibunyalah yang harus belajar terlebih dulu, meningkatkan
kecerdasan emosi pribadinya. Selanjutnya, biar berlangsung apa adanya. Karena
tanpa susah payah menasehati pun, ketinggian kecerdasan emosi orangtua sudah
akan terbaca dengan sendirinya oleh anak. Itulah peran rumah, sebagai pusat
kecerdasan emosi.*
Oleh: Irawati Istadi
0 komentar:
Posting Komentar