Tak ada yang meragukan kepemimpinan Rasulullah. Beliau telah
mentransformasi umat yang dipimpinnya dari manusia padang pasir yang tak
diperhitungkan menjadi generasi terbaik pemimpin peradaban. Kepemimpinan beliau
tidak hanya berpengaruh pada masanya saja, tetapi menginspirasi dan abadi
sepanjang masa. Muhammad SAW The SuperLeader, begitu Syafii Antonio menyebutnya dalam salah satu judul bukunya.
Dalam buku seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh, Michel Hart menulis
Rasul Muhammad dalam urutan nomor wahid.
Pada zaman sekarang ini banyak orang yang berebut dan berharap
menjadi pemimpin. Saat penjaringan calon pemimpin daerah, pemimpin partai,
pemimpin ormas dan semacamnya, tak pernah kekurangan peminat. Bahkan cenderung
surplus. Namun pada kenyataannya umat saat ini justru terpuruk. Ajaran Islam
yang agung ini memang sering telah dikumandangkan dalam pernyataan, namun
sayang belum bisa diwujudkan dalam kenyataan.
Pada hakekatnya, setiap kita adalah pemimpin. Dan kita bertanggung
jawab sesuai lingkup masing-masing. Mulai dari diri sendiri, keluarga, sampai
masyarakat luas. Mari kita meneladani kepemimpinan Rasulullah untuk lahirnya
umat yang lebih baik. Umat yang bisa membangun peradaban Islam yang rahmatan lil alamin.
Apa yang dilakukan dalam kepemimpinan Rasul?
Membuka
Fitrah Tauhid
Setiap manusia, sejatinya memiliki potensi mulia dalam jiwanya.
Yaitu potensi fitrah. Seorang pemimpin bertugas membuka dan menumbuhkan potensi
orang yang dipimpinnya, bukan malah menutupnya. Ibarat seorang petani, ia musti
berusaha menumbuhkan benih tanamannya dan sabar merawatnya hingga berbuah dan
memanen.
Potensi fitrah yang pertama dibuka dan ditumbuhkan oleh Rasulullah adalah fitrah bertauhid. Inilah potensi utama yang menjadi spirit dan nafas
dalam jiwa manusia. Bilal seorang budak, menjadi terangkat martabatnya setelah
dia bertauhid. Jiwanya tak lagi terbelenggu digantungkan pada tuannya, tetapi
merdeka dan berhubungan dengan Tuhannya.
Banyak pemimpin yang tanpa sadar telah menjadikan jiwa fitrah ini
malah tertutupi. Dia tidak menghantarkan jiwa umatnya untuk sambung dengan
Tuhan, tetapi direkayasa untuk bergantung pada dirinya. Tidak mengajak
pengikutnya membesarkan asma Allah, tetapi mengkultuskan nama dirinya. Fir'aun
contoh pemimpin yang nyata-nyata menutup fitrah rakyatnya. Saat ada seruan
dakwah untuk bertauhid, ia justru menolaknya. Dan malah ia menyatakan dirinya
sebagai Tuhan.
Rasul menumbuhkan potensi iman ini dengan sepenuh hati. Beliau
melakukannya dengan rasa empati dan kasih sayang, bukan dengan caci maki dan
kebencian. Beliau dapat membimbing dengan bijak karena merasakan penderitaan
umatnya dan memang sangat menginginkan keselamatan.
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin. (QS. AtTaubah: 128)
Sudah semestinya dalam kepemimpinan ini, kita menghantar umat pada iman dengan kasih sayang sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul.
Sudah semestinya dalam kepemimpinan ini, kita menghantar umat pada iman dengan kasih sayang sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul.
Akhlak Muliadan Ukhuwah
Potensi fitrah lain yang juga ditumbuhkan oleh Rasul adalah karakter
mulia. Setelah seorang terbuka fitrah tauhidnya, Rasul menghantarkan jiwa ini
tumbuh sehingga berbuah akhlak mulia. Menyempurnakan akhlak mulia adalah salah
satu misi Rasul setelah tauhid.
Sesungguhnya hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. (Al Hadist).
Pada kenyataannya banyak pemimpin yang justru mematikan akhlak mulia dan menggantinya dengan akhlak yang hina. Pemimpin yang koruptor misalnya,
justru mengajak rakyatnya serakah. Jangan heran jika yang menjamur bukan
kejujuran, justru kebohongan. Bahkan di pengadilan terjadi jual beli perkara.
Bila sudah tidak ada keadilan di lembaga peradilan, rakyat bisa tersulut
anarkis menghakimi dengan caranya sendiri. Pun demikian pemimpin yang menebar
tuduhan dan fitnah, pasti akan berbuah perpecahan di tengah ummat.
Di bawah kepemimpinan Rasul, yang subur adalah tumbuhnya akhlakmulia. Ini tak terlepas dari keteladanan akhlak agung beliau. Umar bin Khattab
yang semula seorang yang kasar dan bengis, tumbuh menjadi pribadi yang
tawadhu'. Dia siap menerima nasehat dari siapa pun. Kritik diterima dengan hati
terbuka meski datang dari janda tua. Akhlak yang agung ini tumbuh dengan baik
dalam dirinya.
Dengan kepemimpinan akhlak mulia inilah potensi seseorang bisa
diselaraskan dengan yang lain. Meski kadang berbeda pendapat, bisa saling
memahami. Walau berbeda pendapatan, masing-masing bisa memaklumi. Seperti
sebuah orkestra, meski alat dan suaranya berbeda-beda, tetap terdengar mengalun
merdu. Yang kuat menolong yang lemah. Yang lemah mendoakan yang kuat. Yang kaya
memberi yang kekurangan. Yang miskin terus berusaha dan bersabar. Pemimpin dan
yang dipimpin saling menghormat dan mendoakan. Semua diselaraskan menjadi
masyarakat yang dinamis dan indah.
Antara Abu Bakar dan Umar karakternya jelas berbeda. Abu Bakar
seorang yang lembut, sedang Umar seorang yang keras. Namun di bawah
kepemimpinan Rasul, keduanya bisa seirama dan bersaudara. Perbedaan itu bukan
melemahkan, tapi justru saling melengkapi. Inilah tugas pemimpin.
Kepemimpinan yang buruk, justru mengundang perpecahan. Potensi umat
saling bertabrakan dan saling meniadakan. Banyak energi negatif yang justru
menyedot kekuatan. Tanpa kepemimpinan yang baik, jumlah umat yang banyak ini
hanya menjadi kerumunan. Keberadaannya seperti buih yang terombang ambing tak
tentu arah. Bukan menjadi penentu, tapi seperti hidangan yang diperebutkan.
Saat hijrah ke Madinah, kaum muhajirin dalam keadaan serba
kekurangan. Kondisi ini tentu harus segera diselesaikan agar tidak menjadi
problem sosial. Maka Rasul mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum Anshor.
Abdurrahman bin auf misalnya, dipersaudarakan dengan Rabi'. Maka Rabi' pun
dengan sepenuh jiwa menawarkan bantuan dengan memberi separuh hartanya, bahkan
istri. Demi mendengar tawaran itu Abdurrahman bin Auf justru berdoa,
"Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik
tunjukkan saja aku di mana pasar kalian."
Kita kagum dengan kedermawanan Sa'ad yang rela berbagi
dengan saudaranya. Tapi kita juga tak kalah kagumnya dengan Abdurrahman yang
dalam keadaan terbatas pun dirinya sama sekali tak ingin bergantung pada orang
lain. Mental dan akhlak mulia inilah yang menjadikan mereka umat yang kuat.
Mereka bisa tolong menolong dan saling menguatkan.
Dengan spirit tauhid, akhlak mulia dan ukhuwah, sebagaimana
diteladankan Rasul, kepemimpinan akan mengundang rahmat Allah. Mengundang
keterlibatan dan pertolongan Allah. Inilah solusi hakiki. Insya Allah.
0 komentar:
Posting Komentar